YOU'RE NUMBER....

Penghiburan Yang Berarti

Jika menurutmu memaafkan orang lain itu mudah. Aku juga berfikiran begitu. Aku mudah memaafkan orang lain, karena lidah mudah untuk berbohong. Hatiku selalu luluh setiap ada orang yang meminta maaf padaku. Tapi aku sulit untuk melupakan apa yang telah terjadi karena hati yang telah tergores, tidak mudah untuk dipulihkan dalam jangka waktu yang singkat. Dan memori di otak telah merekam segala kejadian yang terjadi. Masa lalu adalah masa lalu, aku dan mereka tak bisa mengubahnya. Menurutku, hanya ada satu cara untuk membuat diriku bahagia, yaitu dengan membuat diriku bosan dengan masa laluku itu, melangkah maju kedepan, dan tinggalkan masa lalu. Begitu sulit. Tapi aku yakin, waktu dapat memulihkan segalanya.

Orang tuaku selalu memanggilku dengan teriak-teriak. Aku benci itu. Padahal aku masih memiliki telinga yang sehat, tak perlu mereka teriak-teriak begitu. Dari kecil mereka menuntut ini itu dari aku. Mereka meminta aku masuk 10 besar. Jika tidak, mereka akan memukuliku. Apakah mereka layak disebut orang tua? Bisa berbuat semena-mena seperti itu tanpa melihat kemampuan pada anak. Kebencian ku bertambah dalam saat orangtua ku mulai membanding-bandingkan ku. Aku mulai berfikir, orang tuaku saja tidak bisa menghargai aku. Bagaimana dengan orang lain?

Aku memang biasa saja dalam soal akademis. Tapi aku selalu berusaha meningkatkan nilaiku. Aku tak seperti Claire yang selalu mendapat juara 1 seangkatan. Aku juga tak secerdas Zara yang dengan mudah mendapatkan beasiswa ke luar negri. Aku benci saat aku dibanding-bandingkan dengan mereka, karena aku tak sepintar mereka. Aku benar-benar benci. Padahal memang aku tak mampu. Mengapa mereka sangat mementingkan nilai akademis hah? Aku pandai bernyanyi, aku mempunyai talenta untuk bermain alat musik, aku juga selalu memiliki inspirasi untuk menulis cerita. Bermain basket pun aku bisa. Padahal mereka itu tak bisa lakukan apa yang bisa aku lakukan. Tapi entah mengapa mereka tak pernah melirik satu pun kemampuanku. Apakah mereka pikir dengan tingginya nilai akademis, menjamin masa depan mereka? Kurasa tidak. Mereka pikir aku manusia yang tak butuh pujian? Kurasa semua orang butuh pujian.

Teman-temanku? Mereka selalu mem-bully aku karena mereka merasa aku ini lemah. Sebenarnya aku tidak lemah. Aku hanya memilih untuk diam. Tapi mereka semakin mem-bully aku, dan memberikan kata-kata yang tidak pantas untuk diriku. Kebencian semakin menumpuk di hatiku.

Untuk kesekian kalinya air mataku menetes diatas teman baikku, Gita. Gita adalah gitar kesayangan yang aku beli sendiri dari hasil aku jualan kecil-kecilan. Mereka semua tak tau betapa terpuruknya diriku. Setiap air mata yang menetes, sangat mengurangi beban dalam hidupku. Aku tak tau aku ini cengeng atau hatiku yang terlalu lembut. Emosi ku sangat tidak stabil. Aku gampang marah, dan aku gampang menangis. Tapi aku tak pernah memperlihatkannya pada orang lain. Aku juga gampang tertawa, tapi sebenarnya aku ini sedih. Mungkin aku ini tipe orang yang memendam segalanya. Bahkan mungkin orang yang telah menyakitiku tak tau bahwa sesungguhnya aku menyimpan dendam pada mereka karena mereka melihat aku baik-baik saja. Aku tak lagi percaya pada ‘sahabat-sahabat’ ku. Sahabat? Itu dulu. Sekarang, aku menganggap mereka itu orang yang patut aku jauhi. Patut aku tendang dari kehidupanku jauh-jauh. Mereka bukannya memberikan aku motivasi, mereka itu malah menjatuhkan mental ku. Mereka fikir aku sebodoh itu?

Tetapi sesuatu telah mengubah hidupku. Aku tak tau apa itu. Tapi aku merasa hidupku berubah sejak aku kembali kepada Tuhan. Entah mengapa saat aku berdoa, hatiku merasa tenang. Aku merasa masih ada pribadi yang mau mendengarkan aku di keadaan aku yang seperti ini. Aku selalu bersyukur atas masalah yang Tuhan berikan kepadaku. Seberat apapun itu.

Suatu hari sehabis aku menceritakan tentang masalahku kepada Tuhan, aku tiba-tiba bertekad untuk bangun dari kesengsaraan ini, karena menyimpan kebencian sama saja dengan menyimpan roti kemana-mana yang pada akhirnya akan busuk jika tidak dimakan. Maksudku, kebencian pada orang lain akan membuatku tambah terpuruk. Lebih baik aku membuang jauh-jauh semua kebencian yang pernah ada, dan mencoba melihat sisi positif dari apa yang telah terjadi.

Masalah orang tuaku, aku telah memaafkan mereka. Aku merasakan hal positif dari mereka melakukan hal itu. Mereka hanya ingin aku lebih dari Claire, dan Zara, saudara sepupuku itu. Aku sadar, mereka sangatlah baik. Mulai sekarang, aku menghormati mereka dan menuruti semua yang mereka mau karena menurutku, mereka hanya ingin yang terbaik untukku walaupun caranya salah.

Sahabat-sahabatku? Oops, maksudku bukan sahabat. Maksudnya orang yang pernah yang menyakitiku. Aku sudah benar-benar bisa memaafkan mereka. Mungkin ini adalah jalan keluar yang Tuhan berikan, karena aku telah kembali kepada-Nya. Dan dari masalah ini, aku mengerti kalau tak semua orang bisa kita percaya. Dan tidak semua teman itu baik. Bisa saja mereka hanya baik diluar, tapi nyatanya mereka membenci kita dan hanya memanfaatkan diri kita untuk kesenangannya.

Aku juga belajar merelakan. Dulu, aku tak pernah rela jika satu teman ku saja pergi dariku. Tapi sekarang, aku tak lagi begitu. Aku benar-benar ikhlas. Karena jika mereka memang cocok untuk menjadi teman kita, mereka akan kembali lagi. Semuanya milik Tuhan, teman dan yang lainnya hanya Tuhan titipkan kepadaku untuk melengkapi cerita hidupku. Dan juga untuk membantu aku untuk membentuk karakter dalam diri agar menjadi pribadi yang jauh lebih baik.

Sekarang pikiranku benar-benar berubah total, dan selama aku hidup, baru kali ini aku merasakan damai dalam hati. Tuhan memberikan penghiburan yang begitu berarti buatku. Dan Dia mengingatkanku bahwa masih banyak sesatu yang dapat di syukuri, daripada terus menuntut lebih. Aku dapat bersyukur karena masih diberikan nafas kehidupan, diberikan orang tua yang begitu memperhatikanku, dan juga talenta yang Tuhan berikan untukku. Untuk masa laluku itu, aku tak pernah menyesal memilikinya. Karena itu yang membuat aku menjadi pribadi yang lebih baik daripada yang sebelumnya.

Tak ada lagi tetesan air mata menetes di atas Gita. Tak ada lagi kebencian dalam hati. Tak ada lagi kata iri terhadap saudara-saudaraku. Yang ada hanyalah kedamaian. Merelakan itu sangat menyenangkan, karena dengan merelakan sesuatu, kita belajar untuk tidak mementingkan ego semata. Dan juga harus belajar untuk menerima diri sendiri. Tak perduli lagi orang lain membicarakan yang jelek tentang diriku, menurutku mereka hanya iri saja dengan kemampuanku.

Terimakasih Tuhan, penghiburan-Mu begitu berarti untuk hidupku. Mulai sekarang dan kedepan nanti, aku akan menyerahkan seluruh hidupku hanya di dalam tangan-Mu. TanpaMu, hidupku takkan berarti. Dan tanpa Mu, aku takkan merasa diri ini berharga.

No comments:

Post a Comment